Kita tahu bahwa Asia Tenggara sejak beberapa tahun ke belakang telah menjadi pemain inti dalam supply chain global. Asia Tenggara sekarang menjadi zona produksi utama untuk mobil, komputer, elektronik, dan garmen, di antara produk lainnya. Negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, Thailand dan Malaysia menjadi negara pusat manufaktur.
Namun sejak COVID-19, proses manufaktur di Asia Tenggara mengalami disrupsi besar-besaran dan mengancam value chain yang selama ini sangat kuat. Hal ini karena kebijakan lockdown dan pembatasan sosial oleh pemerintah yang semakin diperketat akibat lonjakan kasus dan angka kematian membuat banyak manufaktur terpaksa menghentikan sementara proses operasi.
Menurut IHS Markit, indeks PMI bulan Agustus menjadi bulan ketiga berturut-turut indeks PMI wilayah Asia Tenggara berada di bawah 50, yaitu 44,5. Hal ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara mengalami perlambatan. Tingkat penurunan tercepat tercatat di Myanmar, Vietnam dan Malaysia.
Penurunan kapasitas manufaktur, terutama di negara-negara seperti Thailand dan Vietnam, telah mempengaruhi rantai nilai global. Banyak perusahaan yang mengambil barang dari wilayah tersebut mengatakan bahwa mereka telah menghadapi gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya tahun ini karena COVID dan kekurangan kontainer.
Rajiv Biswas, kepala ekonom Asia-Pasifik di IHS Markit mengatakan bahwa dampak penutupan pabrik Vietnam semakin meluas. Lebih dari 100 pabrik pengolahan makanan laut ditutup di Vietnam Selatan selama periode Agustus, sementara lebih dari sepertiga pabrik tekstil dan garmen juga dilaporkan ditutup sementara dalam beberapa pekan terakhir karena pandemi.
Bahkan perusahaan raksasa seperti Samsung dan Toyota juga menghadapi tantangan produksi. Samsung telah berhasil mengurangi gangguan dengan mengalihkan produksi ke bagian lain dari rantai pasokan manufaktur global mereka, tetapi Toyota terpaksa menghentikan sementara beberapa jalur perakitan mobil karena gangguan pada rantai pasokan di pusat manufaktur Asia Tenggara.
Sian Fenner, ekonom utama Asia di Oxford Economics mengatakan bahwa gangguan supply chain dan tekanan harga diperkirakan akan mulai mereda awal tahun depan. Namun dia memperingatkan bahwa disrupsi kemungkinan akan berlangsung lebih lama di beberapa sektor seperti industri semikonduktor, yang berdampak negatif pada produksi otomotif.
Salah satu yang terdampak yakni Ford. Pihak Ford mengatakan pabriknya di Cologne, Jerman akan menghentikan produksi model Fiesta karena kekurangan semikonduktor yang biasanya bersumber dari pabrik di Malaysia.
Disrupsi besar-besaran yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 juga mendorong pelaku manufaktur untuk meninjau ulang aliran supply chain di banyak wilayah. Adanya lockdown telah menunjukkan betapa rapuhnya supply chain global saat ini. Tampaknya strategi yang dulu banyak dilakukan perusahaan manufaktur, yaitu memiliki pabrik yang terkonsentrasi hanya di beberapa tempat, telah membawa dampak buruk.
Alicia Garcia-Herrero, seorang rekan senior di lembaga Bruegel berkata, “Satu-satunya cara untuk membuat supply chain lebih tangguh adalah agar negara-negara memiliki banyak titik masuk untuk input mereka sehingga dapat meningkatkan diversifikasi dan mengaksesnya saat dibutuhkan,”
Artikel ini menyadur dari tulisan Srinivas Mazumdaru di DW
Comentarios