Hanya 30% perusahaan sukses melakukan transformasi digital.
Untuk bisa menang di tengah pandemi, para pemimpin manufaktur harus menentukan bagaimana mempertahankan keunggulan kompetitif dan mendorong kemampuan untuk menang dengan cara yang tidak hanya menahan terjadinya perubahan, tetapi juga merangkulnya untuk menghasilkan kemungkinan strategis baru.
Bisnis yang adaptif biasanya merupakan bisnis yang diberdayakan secara digital, yang mana membuat banyak perusahaan berusaha mengejar transformasi digital. Tapi, kenapa dari semua inisiasi transformasi digital yang dilakukan perusahaan, justru banyak transformasi yang gagal memberikan dampak nyata?
Perspektif tentang transformasi
Sebuah transformasi dikatakan berhasil ketika dilakukan bertahap, bisa menghemat biaya, dan berkelanjutan. Dengan kata lain, transformasi berfokus pada hasil. Bisa berupa produk baru, proses yang ditingkatkan, dan kasus penggunaan lain, yang satu per satu memungkinkan Anda membangun kemampuan, nilai bisnis, dan dukungan untuk transformasi lebih lanjut.
Merangkum dari Deloitte, sebagian besar CEO tidak dapat mengartikulasikan strategi dan kemajuan mereka secara keseluruhan di luar investasi mereka ke teknologi. Mereka masih menganggap investasi ke teknologi adalah pencapaian sebenarnya. Padahal, inti dari perubahan, transformasi, adalah semakin terciptanya bisnis yang dapat beradaptasi, bisnis yang dapat berkembang pesat dalam ekonomi digital. Jika CEO tidak dapat mengatakan bahwa transformasi digital mereka menghasilkan keuntungan bisnis baru atau kemampuan beradaptasi, maka sebenarnya mereka belum bisa dikatakan benar-benar berubah.
Fenomena yang ditemui di lapangan salah satunya yakni banyak pemimpin yang sebenarnya sudah paham secara teori bahwa teknologi seharusnya tidak menjadi strategi bisnis. Tapi seringnya mereka lupa. Pemahaman tersebut tenggelam oleh dorongan pertanyaan seperti
“Bagaimana seharusnya strategi AI kita?”
“Bagaimana strategi otomasi kita?”
alih-alih menanyakan
“Bagaimana otomasi bisa mendukung pencapaian strategi kita?”
“Teknologi apa yang bisa membantu realisasi strategi kita?”
Selain itu, kebanyakan masalah dari gagalnya transformasi ini terletak pada sulitnya mendorong perubahan lintas fungsi, merencanakan lebih dari satu teknologi pada satu waktu, atau membuat strategi yang dapat beradaptasi seiring berkembangnya teknologi.
Yang menambah tantangan ini adalah kenyataan bahwa setiap C-level memiliki area fokus dan tujuan yang berbeda. Dari situ, seringnya satu teknologi saja tidak akan memenuhi kebutuhan mereka. Selanjutnya, mereka sering tidak berdiskusi satu sama lain saat membuat keputusan menyangkut teknologi, atau jika mereka melakukannya, mereka kesulitan untuk berkomunikasi secara efektif. Itulah mengapa kami sering menemui satu perusahaan yang memiliki kombinasi solusi yang kompleks, yang semuanya berjalan sendiri-sendiri dan pada akhirnya menyebabkan silo.
Padahal sebenarnya, transformasi digital ibarat olahraga tim yang semuanya harus memiliki bahasa yang sama. Menciptakan bahasa yang umum, bisa dimengerti semua pihak dan terkait secara strategis untuk transformasi digital dapat menjadi jawaban untuk mencapai keunggulan dan kemampuan beradaptasi di era digital. Ditambah lagi, perusahaan harus memiliki buku pedoman atau playbook dan menggunakannya untuk mengkoordinasikan strategi di seluruh fungsi kepemimpinan dengan konsisten dalam menghadapi perubahan.
Comments